Bahasa
adalah alat komunikasi manusia dalam melakukan interaksi dengan sesamanya dan
lingkungan sosialnya. Dalam berkomunikasi, manusia pada umumnya berinteraksi
untuk membina kerjasama antar sesamanya dalam rangka membentuk, mengembangkan,
dan mewariskan budaya dalam arti yang luas. Dalam pada itu adakalanya atau
dapat dikatakan sering manusia berselisih atau berbeda pendapat antara satu
dengan yang lainnya. Dari situasi dan kondisi ini manusia sebagai pemakai
bahasa sering memanfaatkan bahasa atau berbagai kata-kata yang tidak sepatutnya
diucapkan yang biasa dikenal dengan tabu. Kata-kata kasar, jorok, cabul,
makian, sindiran halus dan sejenisnya sengaja atau tidak sengaja terlontar dari
lidah seseorang untuk mengekpresikan segala bentuk ketidaksenangan, kebencian,
atau ketidakpuasan terhadap situasi yang tengah dihadapinya.
Dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan yang berbudaya perlu diperhatikan
bagaimana seseorang mengungkapkan kata-kata dalam berbahasa yang baik khususnya
mengenai penggunaan kata-kata yang bermakna kultural untuk diekpresikan dalam
bahasa. Ekspresi bahasa yang ungkapkan dalam bentuk kata-kata harus tetap dalam
koridor norma-norma sosial dan agama yang dapat diterima oleh masyarakat luas.
Ada beberapa kata-kata tertentu yang harus dihindari, baik untuk diucapkan
maupun diekspresikan karena hal itu dipandang tabu dan dilarang untuk
disebarluaskan.
Tabu
merupakan ekspresi masyarakat atas pencelaan terhadap sejumlah tingkah laku
atau ucapan yang dipercayai bisa memberikan dampak buruk pada anggota
masyarakat, baik karena alasan-alasan kepercayaan maupun karena perilaku atau
ungkapan tersebut melanggar nilai-nilai moral. Konsekuensinya, sejauh
menyangkut bahasa, adalah hal-hal tetentu tidak diucapkan, atau hanya digunakan
dalam situasi-situasi tertentu oleh orang-orang tertentu pula. Namun demikian,
selalu saja ada orang-orang yang melanggar aturan tersebut sebagai usaha
memperlihatkan kebebasan diri terhadap larangan-larangan, atau untuk
memperlihatkan tabu sebagai suatu hal yang irasional, sebagai bentuk gerakan
“kebebasan berbicara”.
I. TABU
Pengertian
Tabu
Tabu atau pantangan
adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak
diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu
biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Beberapa tindakan
atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan
pelanggarannya dapat menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu
dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari masyarakat sekitar.
Dalam setiap
kelompok masyarakat, terdapat kata-kata tertentu yang dinilai tabu. Kata-kata
tersebut tidak diucapkan, atau setidaknya, tidak diucapkan di depan para tamu
dalam kondisi formal dan penuh sopan santun. Kata “tabu” (taboo) diambil
dari bahasa Tongan1,
merupakan rumpun bahasa Polynesia yang diperkenalkan oleh Captain James Cook
kemudian masuk ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Eropa lainnya2
yang artinya tindakan yang dilarang atau dihindari. Ketika suatu
tindakan dikatakan tabu, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan
tersebut juga dianggap tabu. Seseorang pada awalnya dilarang melakukan sesuatu;
kemudian dilarang untuk berbicara mengenai apapun yang berhubungan dengan hal
tersebut.
Tindakan dan
perkataan yang terlarang merefleksikan adat-istiadat dan pandangan masyarakat.
Ada beberapa kata yang boleh diucapkan dalam situasi tertentu, tetapi tidak
dalam situasi yang lain; misalnya, pada masyarakat Zuni Indian, terdapat
larangan mengucapkan kata takka yang berarti “katak” dalam upacara
keagamaan. Kata ini digantikan dengan rangkaian kalimat yang kompleks, yang
secara literal berarti “sesuatu yang duduk di sungai dan bersuara“.
Harimurti
Kridalaksana membagi istilah “tabu” menjadi dua dilihat dari efek yang
ditimbulkannya yaitu tabu positif karena yang dilarang itu memberi efek
kekuatan yang membahayakan dan tabu negatif disebabkan larangan tersebut
dapat menberikan kekuatan yang mencemarkan atau merusak kekuatan hidup
seseorang. Sehingga untuk menggantikan kata yang dianggap tabu tersebut,
seseorang mempergunakan eufemisme.3
Dalam
masyarakat pemakai bahasa, kata dan ekpresi tabu mungkin tidak terlihat senyata
eufemisme, yang merupakan bentuk dari “penghalusan” keadaan-keadaan tertentu
sehingga lebih pantas untuk diucapkan. Kata dan ekspresi eufemistik membuat
seseorang dapat membicarakan tentang hal-hal yang tidak menyenangkan dan
menetralisasikannya. Sebagai contoh ungkapan yang diekspresikan terhadap orang
yang sedang sekarat dan meninggal dunia, pengangguran, dan kriminal. Kata dan
ekspresi eufemistik juga memperbolehkan penutur untuk memberikan label terhadap
pekerjaan dan tugas-tugas yang tidak menyenangkan dan membuatnya terdengar
lebih menarik. Eufemisme merupakan endemik masyarakat pada umumnya; pemujaan
terhadap sesuatu yang biasa-biasa saja dan terkesan sepele menjadi terlihat
serius.
Beberapa
publikasi yang ditulis Nadel (khususnya tahun 1954) terdapat cerita mengenai
orang-orang Nupe dari Afrika Barat yang berbeda di antara masyarakat paling
sopan di dunia, yang sangat mempermasalahkan ekspresi mana yang cocok saat
sedang bercakap-cakap dan mana yang tidak. Secara kontinyu mereka menggunakan circumlocution
(ungkapan-ungkapan tidak langsung) dan eufemisme untuk menghindari secara langsung
pengucapan hal-hal yang bersinggungan dengan bagian-bagian tubuh, fungsi-fungsi
tubuh, seks, dan sebagainya yang dianggap tabu atau tidak enak (sâru:Jawa)
untuk diucapkan. Pada saat yang bersamaan, mereka memperlihatkan ketertarikan
yang luar biasa terhadap bahasa dan mendiskusikan kompleksitas linguistik. Hal
ini terjadi dikarenakan mereka menyadari apa yang telah mereka lakukan ketika
menggunakan circumlocution dan eufemisme.4
Sebagaimana yang dikatakan Nadel : “Saat menggunakan metafora maupun bentuk
ekspresi manipulasi lainnya, mereka (orang-orang Nupe) selalu sadar akan
implikasi semantik yang ditimbulkan dari kalimat tersebut”. Orang-orang Nupe
itu ternyata telah membentuk cara-cara tidak langsung yang bisa digunakan untuk
mengucapkan hal-hal tabu, cara yang bisa digunakan ketika berada dalam situasi
yang memungkinkan bagi mereka membebaskan diri dari aturan-aturan normal,
misalnya di waktu menceritakan kisah-kisah tertentu atau saat berada dalam
pesta-pesta khusus.
Tabu dan
eufemisme berdampak pada setiap orang, disadari atau tidak tetapi tetap saja
mempengaruhinya. Setiap manusia atau masyarakat memiliki hal-hal tertentu yang
enggan untuk dibicarakan, atau yang tidak layak dibicarakan langsung secara
terang-terangan. Sehingga akan muncul suatu anggapan bahwa beberapa
pemikiran/perasaan tidak boleh diungkapan dengan kata-kata sebagai sesuatu yang
sulit dijabarkan, dan sedapat mungkin berusaha untuk tidak mengekspresikannya
meskipun kita tahu kata-kata yang bisa digunakan. Kalau pun harus
diekspresikan, kita memilih menggunakan cara-cara yang tidak langsung (circumlocution).
Jenis-Jenis Tabu
Tabu
memegang peranan penting dalam bahasa, yang mana permasalahan ini merupakan
kategori dari ilmu semantik.5
Ilmu ini memperhatikan tabu sebagai penyebab berubahnya makna kata. Sebuah kata
yang ditabukan tidak dipakai, kemudian digunakan kata lain yang sudah mempunyai
makna sendiri. Akibatnya kata yang tidak ditabukan itu memperoleh beban makna
tambahan. Subyek yang ditabukan sangat bervariasi, seperti seks, kematian,
eksresi, fungsi-fungsi anggota tubuh, persoalan agama, dan politik. Obyek yang
ditabukan pun beragam antara lain mertua, perlombaan adu binatang, penggunaan
jari tangan kiri (yang menunjukkan sinister/ancaman) dan sebagainya.6
Dalam hal ini untuk memudahkan pembahasan penulis ingin melihat dari segi
psikologis yang melatarbelakangi munculnya istilah tabu.
Berdasarkan
motivasi psikologis, kata-kata tabu muncul minimal karena tiga hal, yakni
adanya sesuatu yang menakutkan (taboo of fear), sesuatu yang membuat
perasaan tidak enak (taboo of delicacy), dan sesuatu yang tidak santun
dan tidak pantas (taboo of propriety).7
Dalam bagian ini penulis mencoba menguraikan dan memberikan contoh
masing-masing jenis tabu tersebut untuk memperjelas klasifikasi dan
perbedaannya dengan menyertakan masing-masing bentuk eufemistiknya.
- Taboo of Fear
Segala
sesuatu yang mendatangkan kekuatan yang menakutkan dan dipercaya dapat
membayakan kehidupan termasuk dalam kategori tabu jenis ini. Demikian juga
halnya dengan pengungkapan secara langsung nama-nama Tuhan dan makhluk halus
tergolong taboo of fear. Sebagai contoh orang Yahudi dilarang menyebut
nama Tuhan mereka secara langsung. Untuk itu mereka menggunakan kata lain yang
sejajar maknanya dengan kata ‘master‘ dalam bahasa Inggris. Di Inggris
dan Prancis secara berturut-turut digunakan kata the Lord dan Seigneur
sebagai pengganti kata Tuhan. Nama-nama setan dalam bahasa Prancis pun telah
diganti dengan eufemismenya, termasuk juga ungkapan l’Autre ‘the other one’.
Dalam
kelompok masyarakat tertentu, kata-kata yang memiliki makna konotasi keagamaan
dinilai tidak layak jika digunakan di luar upacara formal keagamaan. Umat
Kristiani dilarang menggunakan nama Tuhan dengan sembarangan. Larangan ini
kemudian berkembang menjadi larangan terhadap penggunaan kutukan, yang
dipercaya memiliki kekuatan magis. Kata hell dan damn diubah
menjadi heck dan darn, dengan harapan dan kepercayaan bahwa
perubahan pengucapan itu akan mengelabui ‘kekuatan yang dihasilkan’ dari kata
tersebut.
Di
Indonesia, masyarakat Pantai Selatan pulau Jawa memandang tabu terhadap siapa
saja yang melancong atau berekreasi di pantai tersebut dengan mengenakan
pakaian yang berwarna merah. Pertabuan ini disebabkan karena mereka percaya
bahwa makhluk ghaib Penguasa Laut Selatan yakni Nyi Roro Kidul, yang dikenal
dengan Ratu Pantai Selatan tidak suka/marah dengan pengunjung yang mengenakan
baju merah dan tentunya dipercaya akan ada dampak buruk yang akan diterima oleh
si pelanggarnya. Contoh kasus semacam ini tentu banyak dijumpai khususnya di
Indonesia sebagai negara yang multi etnik, agama, adat-istiadat dan kebudayaan.
- Taboo of Delicacy
Usaha
manusia untuk menghindari penunjukan langsung kepada hal-hal yang tidak
mengenakkan, seperti berbagai jenis penyakit dan kematian tergolong pada jenis
tabu yang kedua ini. Nama-nama penyakit tertentu secara etimologis sebenarnya
merupakan bentuk eufemisme yang kemudian kehilangan nuansa eufemistisnya dan
saat ini berhubungan erat dengan kata-kata yang ditabukan. Misalnya kata imbecile
diambil melalui bahasa Prancis dari bahasa Latin imbecillus atau imbecillis
‘lemah’. Kata ‘cretin‘ dalam bahasa Prancis adalah bentuk dialektikal
dari chretien ‘christian’ yang diambil dari bahasa Prancis dialek Swiss.
Penyakit
yang diderita seseorang merupakan sesuatu hal yang tidak menyenangkan bagi
penderitanya. Penyakit-penyakit yang referennya bersifat menjijikkan lazimnya
dihindari penyebutan desfemistisnya (kata-kata yang ditabukan atau tidak
enak untuk disebutkan), dan hendaknya diganti dengan bentuk eufemistisnya.
Pengungkapan jenis penyakit yang mendatangkan malu dan aib seseorang tentunya
akan tidak mengenakkan untuk didengar, seperti ayan, kudis, borok,
kanker. Olehnya itu sebaiknya nama-nama penyakit itu diganti dengan
bentuk eufemistik seperti epilepsi, scabies, abses dan CA
untuk mengganti kata kanker.8
Beberapa nama penyakit yang merupakan cacat bawaan seperti buta, tuli,
bisu, dan gila secara berturut-turut dapat diganti dengan kata tunanetra,
tunarungu, tunawicara, dan tunagrahita. Mereka yang
menderita cacat tersebut akan tidak mengenakkan atau tidak santun bila
dikatakan para penderita cacat, tetapi hendaknya diganti dengan para penyandang
cacat.
Keadaan
sekarat dan kematian merupakan hal yang sangat tabu dalam peradaban Barat. Pada
berbagai kelompok masyarakat Eropa terdapat sejumlah besar eufemisme yang
berhubungan dengan kematian, karena kematian dianggap menakutkan maka tergolong
tabu. Masyarakat tidak suka mendengar atau menggunakan kata die
(meninggal) dan lebih cenderung menyukai kata-kata pass on atau pass
away. Orang yang mengurus pemakaman lebih sering disebut sebagai funeral
director (pengatur pemakaman) ketimbang kata mortician (pemilik
firma pemakaman) atau undertaker (orang yang mengurus pemakaman).9
- Taboo of Propriety
Tabu jenis
ini berkaitan dengan seks, bagian-bagian tubuh tertentu dan fungsinya, serta
beberapa kata makian yang semuanya tidak pantas atau tidak santun untuk
diungkapkan. Dalam bahasa Prancis, penyebutan kata fille yang berkenaan
dengan ‘anak perempuan’ masih mendapatkan penghormatan. Akan tetapi, bila
ditujukan untuk ‘wanita muda’ orang-orang harus menggunakan kata jeune fille
karena kata fille sendiri sering digunakan sebagai bentuk eufemistis
bagi ‘pelacur’.
Kata-kata
yang berhubungan dengan seks, organ seksual, fungsi-fungsi tubuh secara alami
menjadi bagian dari kata-kata tabu di berbagai kebudayaan. Bahkan ada beberapa
bahasa yang tidak memiliki kata yang berarti “berhubungan seks” sehingga harus
mengambil kata tersebut dari bahasa asing. Namun ada beberapa bahasa lainnya
yang memiliki banyak kata untuk mengungkapkan tindakan paling umum dan
universal ini, dan kebanyakan diantaranya merupakan kata-kata tabu.
Sejumlah
kata atau kalimat bisa memiliki makna linguistik yang sama, hanya saja ada
makna yang bisa diterima dan yang memalukan. Dalam bahasa Inggris, kata yang
diambil dari bahasa Latin terdengar ” ilmiah” dan oleh karena itu dianggap
“bersih” dan bersifat “teknis”, sementara kata-kata yang diambil dari warga Anglo-Saxon
dianggap tabu. Fakta ini merefleksikan opini bahwa kosakata yang digunakan oleh
golongan kelas atas lebih superior dan terhormat bila dibandingkan dengan yang
digunakan oleh golongan kelas bawah. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa
penaklukkan bangsa Norman pada tahun 1066, terjadi pembedaan pengungkapan saat
“seorang putri bangsawan berkeringat menggunakan kata perspired, meludah
dengan expectorated, dan datang bulan dengan menstruated.
Sementara si pembantu bila berkeringat digunakan kata sweated, bertengkar
dengan spat dan berdarah dengan bled“.
Demikian
halnya dengan kata vagina dinilai lebih “baik/bersih” digunakan
sementara kata cunt dinilai “kotor” dan tabu untuk diucapkan; atau kata prick
atau cock menjadi tabu sementara kata penis diterima sebagai
istilah bagian anatomi kaum laki-laki dan layak digunakan. Kata defecate
(buang air besar) bisa digunakan pada semua orang tetapi pada orang-orang kasar
digunakan kata shit (buang air besar). Masyarakat Inggris juga
menghindari untuk menggunakan kata-kata tidak santun lainnya seperti breast
(payudara), intercourse (bercinta), dan testicles (buah zakar)
seperti halnya dengan sinonim kata-kata itu yakni tits (payudara), fuck
(bercinta), dan ball (buah zakar). Dalam hal ini tidak ada dasar
linguistik, tetapi penekanan terhadap fakta ini tidak merupakan anjuran untuk
menggunakan atau tidak menggunakan kata-kata tersebut.
Hass (1951)
menekankan bahwa pengucapan kata-kata tabu (tabu linguistik) tertentu agaknya
berasal dari situasi bilingual. Ia memaparkan contoh pada masyarakat Creek di Oklahoma,
dimana penghindaran pengucapan kata-kata fâkki (tanah), apiswa
(daging), dan apîssi (gemuk) semakin meningkat disana seiring dengan
semakin seringnya mereka menggunakan bahasa Inggris. Penghindaran serupa juga
tampak pada para pelajar Thailand yang belajar bahasa Inggris di negara dengan
masyarakat yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Mereka
menghindari pengucapan kata-kata fag (baju ketat) dan phrig
(cabai) dalam anglophone, karena memiliki bunyi fonetik yang mirip dan
nyaris sama dengan kata-kata yang ditabukan dalam bahasa Inggris yaitu fuck
dan prick. Sebaliknya, masyarakat Thailand juga seringkali sulit
mengucapkan kata yet dan key karena memiliki bunyi fonetik yang
mirip dengan kata jed yang dalam bahasa Thailand berarti “berhubungan
seks” dan khîi yang berarti “kotoran”. Dalam situasi tertentu, seseorang
sampai merubah namanya disebabkan hanya karena nama tersebut menimbulkan rasa
malu bila diucapkan dalam kerangka linguistik yang berbeda, misalnya nama
Vietnam “Phuc‘ dalam sebuah kelompok anglophone.
Contoh lain
yang merupakan proses pentabuan kata yang “hampir sama bunyinya” dengan bunyi
kata yang ditabukan itu adalah apa yang pernah terjadi di Malaysia. Di Malaysia
kata butuh ditabukan karena dianggap porno. Mantan perdana menteri
Pakistan yang bernama Ali Bhutto yang namanya mirip dengan kata butuh
itu kemudian disebut atau dilafalkan Ali Bhatto.10
Dalam
masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan wanita
lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan alat-alat
kelamin atau kata-kata “kotor” yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan
oleh kaum wanita, atau seolah-olah menjadi monopoli kaum pria.
Kita tentu
bertanya-tanya mengapa perempuan Jawa, betapa pun gembiranya, tidak akan mau bertempik
sorak. Mereka tentu saja turut bersorak-sorak atau bersorak-sorai, mungkin
lebih bersemangat dari yang lain. Namun, jangan harapkan mereka mau mengatakan bertempik
sorak, apalagi hanya bertempik. Masalahnya, kata tempik dalam
bahasa Jawa bermakna ’kemaluan perempuan’. Artinya, kita boleh saja bertempik
sorak di daerah lain asal jangan di lingkungan masyarakat penutur bahasa Jawa.
Padahal, kata tempik dalam bahasa Melayu berarti ’sorak’, dan tempik
sorak semacam kata majemuk yang berarti ’bersorak-sorak’ atau
’bersorak-sorai’.
Ketika
seorang tokoh perempuan Jawa berceramah dalam pertemuan yang sebagian besar
pesertanya perempuan Sunda menganjurkan agar jangan takut momok, para
hadirin yang sebagian besar kaum wanita pun senyum dikulum, lalu tertawa
cekikikan. Sambil berbisik di antara sesama mereka, mereka katakan mana mungkin
takut momok. Bukankah sebagai perempuan mereka tidak akan mungkin
meninggalkannya sejenak? Si penceramah yang memaksudkan momok yang dalam
bahasa Jawa sebagai ’hantu’ itu terjerembab ke dalam kenyataan lain. Dalam
bahasa Sunda, kata momok bermakna sama dengan tempik dalam bahasa
Jawa, yaitu ’kemaluan perempuan’.11
Pemaparan
contoh-contoh kata tabu dan eufemisme dari ketiga jenis tabu di atas tentunya
merupakan sebagian kecil saja dari apa yang terjadi atau ditemukan pada setiap
lingukungan masyarakat pemakai bahasa. Olehnya itu tentu masih banyak lagi contoh-contoh
kasus lain yang merupakan fenomena penggunaan kata-kata dan prilaku tabu yang
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya bidang linguistik atau sosiolinguistik.
II. MAKIAN
Pengartian Makian
Menurut KBBI, ada beberapa pengertian dari Makian sejenisnya :
maki/ma·ki/ v cak mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya) sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel dan sebagainya: jangan engkau -- orang tua itu;
memaki/me·ma·ki/ v mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang adat untuk menyatakan kemarahan atau kejengkelan: sayang sekali, anak kecil itu sudah berani - tetangganya;
memaki-maki/me·ma·ki-ma·ki/ v memaki berkali-kali: gadis itu - orang yang mencoba mengganggunya;
makian/ma·ki·an/ n kata keji yang diucapkan karena marah dan sebagainya;
maki-makian/ma·ki-ma·ki·an/ n berbagai macam ucapan kotor (keji) sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel
Salah satu ciri bahasa adalah arbitrer atawa
semena-mena. Kita tidak pernah tahu, sejak kapan hewan berkaki empat yang suka
menjulurkan lidah dan menyalak itu disebut anjing. Begitu juga dengan bangsat
dan babi. Seolah-olah nama itu muncul begitu saja dan kita harus menerimanya
karena telah menjadi sebuah kesepakatan yang entah dibuat oleh siapa.
Menurut KBBI , anjing, bangsat, dan babi
merupakan kata benda. Anjing memiliki pengertian, “binatang menyusui yg biasa
dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dsb; Canis familiaris”. Bangsat
memiliki 2 pengertian, “(1) kepinding; kutu busuk dan (2) orang yang bertabiat
jahat (terutama yang suka mencuri, mencopet, dsb.)”. Sedangkan babi memiliki 3
pengertian, “(1) binatang menyusui yg bermoncong panjang, berkulit tebal,
dan berbulu kasar; (2) kas umpatan yg sangat kasar;
(3) nama kartu kecil (kartu ceki)”. Berdasarkan makna leksikal dalam KBBI,
hanya babi yang secara tegas diberi pengertian sebagai kata makian.
Sedangkan bangsat seolah besinonim dengan orang jahat. Pada kenyataannya, kata
bangsat takhanya digunakan untuk memaki orang jahat (dalam KBBI dicontohkan
pencuri, pencopet, dsb.). Hanya anjing yang agaknya tidak dimaknai sebagai
bentuk makian. Saya sendiri tidak mengerti, mengapa Pusat Bahasa selaku penyusun
KBBI tak memberikan pengertian pada kata anjing sebagai kata makian, padahal
penggunaan kata itu sebagai makian takkalah popular dari bangsat dan babi.
Pertanyaannya kemudian, sejak kapankah ketiga
kata itu (baca: anjing, bangsat, babi) dijadikan sebagai kata makian? Lagi-lagi
saya harus mengulang pernyataan, yeah begitulah kerabitreran bahasa. Barangkali
karena anjing dan babi digolongkan sebagai hewan yang haram untuk dimakan? Jika
demikian, kenapa kita tidak memaki dengan kata “manusia!”, bukankah manusia
juga haram dimakan? Sementara itu, bangsat suka mengisap darah manusia yang
berakibat pada bentol dan gatal-gatal. Boleh jadi karena aktivitas bangsat itu
yang menyebabkannya dijadikan kata makian. Namun, bukankah itu merupakan
mekanisme hidup yang harus dilakukannya untuk dapat hidup, seperti juga manusia
yang suka makan hewan lainnya bahkan anjing dan babi?
Oleh sebab kata anjing, bangsat, dan babi sudah
terlanjur disepakati sebagai kata makian, sering menjadi persoalan ketika kita
harus menggunakan kata itu, seperti judul karangan ini misalnya. Tentu
saja, ketika pertama kali membaca Anda segera mengira saya tengah memaki
seseorang atau sesuatu.
Jadi...
Bahasa
tabuh ialah bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah Ejaan Yang Disempurnakan.
Biasanya bahasa ini digunakan salah satunya untuk mengejek orang lain, atau
perbuatannya yang tidak berkenan atau sesuai aturan. Bahasa tabuh tidak baik
untuk digunakan karena dapat menyinggung perasaan orang lain. Salah satu
penggunaan bahasa tabuh yang biasa kita jumpai ialah di media sosial. Ada
kalanya bahasa tabuh tersebut digunakan secara spontan, dan ada juga yang
disengaja. Tetapi, bagaimanapun bahasa tabuh ialah bahasa yang tidak baik untuk
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebaiknya,,,
Sebagai mahasiswa yang telah
memperlajari kaidah EYD yang baik dan benar, seharusnya kita tidak lagi
menggunakan kata-kata tabuh tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus
dapat menunjukkan bagaimana pola pikir seorang mahasiswa yang berpendidikan.
Karena pola pikir seseorang juga tercermin melalui bagaimana dia dalam
menggunakan bahasa dalam kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar